Kamis, 18 November 2010

Menelusuri Awal Masuknya Islam di Sulsel


Jumat, 14-09-2007  
      Opini Tribun
     
 
      Menelusuri Awal Masuknya Islam di Sulsel 
      Oleh: Amir Djumbia, Staf Publikasi Balai Pelestarian Peninggalan 
Purbakala Makassar 
 
 
      Berbagai peninggalan sejarah dan purbakala di Sulawesi Selatan
 (Sulsel)
sampai sekarang ini masih banyak yang belum terungkap, termasuk
 keberadaan 
masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.
        
      Kronologis keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di 
Sulsel masih 
membutuhkan pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih objektif. 
Kehadiran budaya Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum
 diterimanya 
agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Agama Islam dibawah oleh para 
pedagang Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu
 Kota Kerajaan 
Gowa, Somba Opu. 
 
      Di Mangallekana 
 
      Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I 
Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang 
memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di 
sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan 
masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri 
di Sulsel. 
 
      Menurut perkiraan, penduduk Makassar pada abad ke-16 sudah memeluk Islam. 
Mereka sudah ada di masyarakat dan berbaur dengan masyarakat Gowa atau 
berinteraksi sosial antar individu dan berintreraksi jual-beli atau hubungan 
dagang. Itu berlansung lama. 
      Suasana seperti itu berlangsung lama di dalam wilayah Kerajaan Gowa dan 
di luar pusat Kerajaan Gowa utamanya dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan di 
Ternate, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang jauh lebih dahulu memeluk Islam. 
 
      Raja Gowa 
      Menurut lontara, pada tahun 1605 Masehi, Islam diterima secara resmi di 
Kerajaan Tallo dan Gowa disusul dengan masuknya Islam Raja Tallo I Sultan 
Abdullah Awwalul Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan 
Alauddin pada tanggal 22 September 1605 Masehi. 
 
      Kedua raja ini masuk Islam pada malam Jumat. Raja Tallo keesokkan hari 
langsung salat Jumat di Masjid Tallo bersama rakyatnya yang Islam. Menurut 
catatan Harian Lontarak yang mengizinkan Raja Tallo dan Raja Gowa masuk islam 
adalah khatib Abdul Makmur Dato Ri Bandang asal Kota Minangkabau. Dua tahun 
kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil 
diislamkan. Dengan penekanan dakwa mengembangkan syariat Islam di kalangan 
rakyat, Dato Ri Bandang berhasil menyebarkan Islan di kalangan karajaan. 
 
      Berbeda dengan sahabatnya, khatib yang bungsu bernama Abdul Jawad yang 
menyebarkan Islam di wilayah bahagian selatan Sulsel utamanya di Bulukumba yang 
menekankan pelajaran Tasawwuf kepada rakyat sesuai dengan keinginan masyarakat 
yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan. Khatib Abdul Jawad inilah 
yang menjadi mubalig sampai akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba, 
sehingga digelar sebagai Datok Ri Tiro. 
 
      Kerajaan Luwu 
      Khatib Sulaiman yang menyebarkan Islam di Tanah Luwu berhasil 
mengislamkan Datu Luwu La Patiware Dg Parrebung, kemudian diberi gelar Sultan 
Muhammad. Khatib Sulaeman menyebarkan agama lebih menenkankan pada pengetahuan 
tauhid, yang diajarkan kepada masyarakat yang berkaitan pada kepercayaan Dewa 
Seuwae. 
      Sebagai ganti Dewa Seuwae masyarakat diajarkan untuk mempercayai adanya 
Allah SWT. Khatib Suleman meninggal di Luwu Utara dan dimakamkan di Desa 
Patimang sehingga juga disebut Dato Patimang. 
 
      Suasana masyarakat Sulsel pada sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad 
ke-17 sibuk mempelajari agama baru, Islam. Kala itu Islam disebarkan dan 
diajarkan oleh ketiga ulama dari Minangkabau, Dato Ri Bandang, Datok Ri Tiro, 
dan Dato Patimang. Ketiga penyiar Islam ini berkerja sama dengan bangsawan dan 
kerabat kerajaan di istana raja. Para bangsawan dan kerabat kerajaan berusaha 
secara berangsur-angsur mengetahui dan memahami ajaran-ajaran Islam melalui 
pengajian, pengkajian Al Quran, salat berjamaah, dan diskusi-diskusi. 
 
      Melalui Pedagang 
 
      Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di 
Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang 
mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun 
dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama 
Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar 
India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu 
dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa 
sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak. 
 
      Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada 
tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak 
kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di 
Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan 
pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di 
pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan 
didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat. 
 
      Pengaruh Tionghoa 
      Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga
 disiarkan
 oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang membawa
 seorang
 pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan Surabaya, daerah di
 pesisir 
utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di wilayah pesisir utara Pulau
 Jawa padatahun 855 M telah memeluk Islam dan 
orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang 
Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang 
di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke 
kepulauan nusantara terutama di Maluku. 
      Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia 
memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di 
Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir 
abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di 
kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid 
Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran). 
Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu 
Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar 
Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang. 
Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal 
di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam 
diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah 
ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu 
maupun berkelompok. 
 
 
 
      Hak Istimewa 
      Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang 
dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang 
memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau. 
      Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu 
Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa, 
Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang 
orang-orang asing dari daerah itu. 
      Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan 
kerajaan-kerajaan yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di 
jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590) 
bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa 
memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar 
Istana Kerajaan Gowa. 
 
      Islam di Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang 
ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.  
 

1 komentar: